About Me

WordPress Developer And Forentend Developer.

Me Tanmoy Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and type setting industry when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book It has survived not only five centuries.

Brithday 19-12-1992
Call +12584789354
Email example@domain.com
Website www.example.com
Download CV Hire Me

My Skill

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Magnam odio vel, doloremque dignissimos, doloribus esse ullam. Voluptatibus, veritatis quas. Incidunt deserunt eius harum a dolorem. Debitis, optio. Magnam cupiditate, adipisci?

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Magnam odio vel, doloremque dignissimos, doloribus esse ullam. Voluptatibus, veritatis quas. Incidunt deserunt eius harum

PHP
HTML5 & CSS
AngularJS
SEO

My Services

What i offer

Theme Design

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and type setting industry when an unknown printer took a galley

Website Design

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and type setting industry when an unknown printer took a galley

UI/UX Design

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and type setting industry when an unknown printer took a galley

Graphic Design

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and type setting industry when an unknown printer took a galley

Support

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and type setting industry when an unknown printer took a galley

SEO Marketing

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and type setting industry when an unknown printer took a galley

1001

Happy Clients

250

Projects Done

150

Awards Won

1500

Cups Tea

My Portfolio

What i do
  • All
  • Travel
  • Photograph
  • Foods

My Experience

My Recent Experiences
Apr 2015 - Mar 2016
Software Engineer

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vestibulum mattis felis vitae risus pulvinar tincidunt. Nam ac venenatis enim. Aenean hendrerit justo sed.

Apr 2016 - Mar 2017
Web Developer

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vestibulum mattis felis vitae risus pulvinar tincidunt. Nam ac venenatis enim. Aenean hendrerit justo sed.

Apr 2017 - Present
Frontend Developer

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vestibulum mattis felis vitae risus pulvinar tincidunt. Nam ac venenatis enim. Aenean hendrerit justo sed.

My Blog

Latest blog
Gula Kawung atau dalam Bahasa Indonesia adalah Gula Aren. Gula anu dijieun tina lahang hasil sadapan tina tangkal kawung. Dicitakna maké awi ngarah jadi gula ganduan turta diparos (dibungkus) ku daun kalapa.[1]

Prak-prakan nyieun:

Lahang hasil sadapan dina lodong téh tuluy diasupkeun kana kancah. Sanggeus kitu lodongna dibersihan, lain dikumbah ku cai, tapi dipuput leuwih kurang tilu jam. Lahang anu geus digolakkeun disebutna wédang. Sanggeus kitu tuluy éta wédang téh dikecalakan minyak kalapa 2 keclak unggal sakancah. Sanggeus kitu dipépés nepi ka kentel. Ti dinya laju diguis (diaduk) maké alat nu disebut pangguis. SAnggeus kitu tuluy dicitak dina awi (mun di Banten dina batok).

Mangpaatna:

Di handap ieu mangpaat tia zat-zat anu dikandung dina gula Kawung

1. Riboflavin: Ngabantu ngabentuk sel darah merah, ngahasilkeun antibodi, bareng jeung enzim ngahasilkeun energi nu diperlukeun ku awak manusa, jeung vitamin A menerkeun selaput mukosa dina saluran pencernaan, ngahambat sél nu ruksak dina waktu prosés produksi énérgi, menerkeun sistim gawé jaringan jeung saluran pencernaan awak.

2. Thiamin: Gunana keur koenzim dina metabolismeu energi, nguatkeun sistem saraf jeung otot, ngabantu awak nyieun sarta ngagunakeun protein.

3. Niacin: Gunana keur koenzim dina metabolismeu Glukosa, Lemak jeung Alkohol, Mantuan kasehatan kulit, sistim saraf jeung sistem pencernaan, nurunkeun kadar kolesterol LDL, ngaronjatkeun fungsi gawé uteuk.

4. Nicotinic Acid: Ngahambat sarta ngalemeskan urut jarawat, nyegah singkayo jeung wasir.

5. Ascorbic Acid: Ngabogaan fungsi Antibiotik, ngahambat rematik, Flu jeung Asma, bisa oge nyegah Kangker, nyiptakeun sistim imunitas, nguatkeun tulang sandi, nu sifatna Antioksi jeung sanggup ngungkulan radikal bébas.

6. Kalsium: Ngalancarkeun jalan getih, normalkeun tekenan getih, nyaimbangkeun tingkat kaasaman getih, Nyegah Ostéorosis (Tulang koropos), nyegah panyakit jantung jeung nurunkeun résiko Kangker peujit, ngaronjatkeun gairah birahi anu létoy.

7. Vitamin B6 jeung nu séjénna: Metabolisme Protéin & Karbohidrat, mantuan produksi sél-sél getih beureum, mantuan sistim imunitas awak.
1. Arti Dari Istilah Sunda

A. Arti “Sunda” dalam Bahasa Sansakerta
Menurut Bahasa Sansekerta yang merupakan induk bahasa-bahasa Austronesia, terdapat 6 (enam) arti kata Sunda, yaitu sebagai berikut:

1. Sunda dari  akar kata “Sund” artinya bercahaya, terang benderang;
2. Sunda adalah nama lain dari Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam;
3. Sunda adalah nama Daitya, yaitu satria bertenaga besar dalam cerita Ni Sunda dan Upa Sunda;
4. Sunda adalah satria wanara yang terampil dalam kisah Ramayana;
5. Sunda dari kata cuddha artinya yang bermakna putih bersih;
6. Sunda adalah nama gunung dahulu di sebelah utara kota Bandung sekarang (Prof.Berg, juga R.P Koesoemadinata, 1959).

B. Arti “Sunda” dalam Bahasa Kawi
Dalam Bahasa Kawi terdapat 4 (empat) makna kata “Sunda”, yaitu:

1. Sunda berarti “air”, daerah yang banyak air;
2. Sunda berarti “tumpukan” bermakna subur;
3. Sunda berarti “pangkat” bermakna berkualitas;
4. Sunda berarti ”waspada” bermakna hati-hati.

C. Dalam Bahasa Jawa:
Dalam Bahasa Jawa arti kata “Sunda” adalah sebagai berikut:

1. Sunda berarti “tersusun “ maknanya  tertib;
2. Sunda berarti “bersatu” ( dua menjadi satu) maknanya hidup rukun;
3. Sunda berarti “angka dua” (cangdrasangkala), bermakna seimbang;
4. Sunda, dari kata “unda” atau  “naik”, bermakna kualitas hidupnya selalu naik;
5. Sunda berasal dari kata “unda” yang berarti terbang, melambung, maknanya disini adalah  semakin  berkualitas.

D. Arti kata “Sunda” dalam Bahasa Sunda
Orang Sunda juga memiliki beberapa arti tentang kata “Sunda” itu sendiri, yaitu:

1. Sunda, dari kata “saunda”,  berarti lumbung, bermakna subur makmur;
2. Sunda, dari kata “sonda”,  berarti bagus;
3. Sunda,  dari kata “sonda”,  berarti unggul;
4. Sunda, dari kata “sonda”,  berarti senang;
5. Sunda, dari kata “sonda” berarti bahagia;
6. Sunda, dari kata “sonda”, berarti sesuai dengan keinginan hati;
7. Sunda, dari kata “sundara”,  berarti lelaki yang tampan;
8. Sunda, dari kata “sundari”, berarti wanita yang cantik;
9. Sunda, dari kata “sundara” nama Dewa Kamajaya: penuh rasa cinta kasih;
10. Sunda berarti indah.

2. Purnawarman dan Istilah Sunda

Maharaja Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M). Ia membangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai. Dinamainya kota itu Sundapura, pertama kalinya nama “Sunda” digunakan. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.

Kalau kita pahami dan mencerna lebih mendalam tentang arti-arti kata “Sunda” yangdiberikan oleh Purnawarman di atas nampaknya kita tidak menemukan sebuah arti jelek atau kurang baik. Selama ini banyak orang yang mengatakan apa arti sebuah nama?, namun ada juga orang yang mengatakan bahwa nama merupakan sebuah do’a. terlepas dari semuanya itu, yang pasti manusia secara mendasar tidak menginginkan sesuatu itu jelek atau buruk, mereka selalu mengharapkan kebaikan, keindahan atau kesempurnaan. Maka untuk itu Purnawarman yang memberikan nama istilah “Sunda”, tentunya menghendaki adanya kebaikan terhadap apa yang diberinya nama.

3. Hubungan nama dan pandangan hidupnya.

Tujuan dan harapan dari kata “Sunda” tetunya mengharapkan kebaikan dalam berbagai aspek di masyarakat. Hanya sebuah nama tentunya tidak akan berarti apabila tidak diiringi dengan pandangan hidup masyarakatnya yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mendukung dari nama yang baik itu tentunya masyarakat harus menciptakan norma-norma kemasyarakatan, agar tujuan dari pemberian nama tersebut dapat berhasil.

Norma-norma tersebut merupakan salah satu aspek dari pandangan hidup yang sudah barang tentu dimiliki oleh setiap kelompok masyarakat bahkan semua bangsa di muka bumi ini. Masalah pandangan hidup suatu bangsa merupakan persoalan yang sangat asasi bagi kekokohan dan kelestarian suatu bangsa. Karena, dalam pandangan hidup ini terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan oleh sesuatu bangsa, terkandung pikiran-pikiran terdalam dan gagasan suatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Pandangan hidup suatu bangsa merupakan suatu kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya.

Masyarakat Sunda sebagai kelompok masyarakat budaya yang sudah tua dan mampu bertahan hingga kini kiranya memiliki pandangan hidupnya sendiri dan dapat hidup dalam kemandiriannya di tengah-tengah masyarakat dan budaya lainnya. Pandangan hidup itu mencakup unsur-unsur tentang manusia sebagai pribadi, hubungan manusia dengan lingkungan masyarakatnya, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan Tuhan, dan tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasaan batiniah.

Munculnya pandangan hidup ini tentunya sebuah harapan agar terciptanya sebuah kesinambungan antara nama dengan tingkah laku masyarakatnya. Nama sunda yang sudah baik, tidak akan terlaksana baik apa bila masyarakatnya tidak memiliki pandangan hidup yang baik, padangan hidup ini harus menjadi sebuah norma sehingga masyarakatnya benar-benar mentaatinya dan tujuan akhirnya adalah tercipta kebaikan dalam masyarakatnya seperti apa yang tersirat dalam arti nama sunda.

4. Pandangan Hidup Orang Sunda Mengatur hubungan antara manusia dengan sesama manusia, agar tujuan dari arti nama “Sunda” itu dapat tercapai?

1. Kawas gula jeung peueut
“seperti gula dengan nira yang matang”
artinya : hidup rukun sayang menyayangi, tidak pernah berselisih.

2. Ulah kawas seuneu jeung injuk
“jangan     sepert api dengan ijuk”
Artinya: jangan mudah berselisih.agar pandai mengendalikan napsu-napsu negatif yang merusak hubungan dengan orang lain.

3. Ulah nyieun pucuk ti girang
“jangan merusak tunas dari hulu”
Artinya: jangan mencari bibit permusuhan

4. Ulah neundeun piheuleut ulah nunda picela
“jangan menyimpan jarak jangan menyimpan cela”
Artinya: jangan mengajak orang lain untuk melakukan kejelekan dan permusuhan.

5. Bisi aya ti geusan mandi
“kalau-kalau ada dari tempat mandi”
Artinya: segala sesuatu harus dipertimbangkan agar pihak lain tidak tersinggung.

6. Henteu asa jeung jiga
“tidak merasa sangsi dan ragu”
Artinya: sudah merasa seperti saudara, bersahabat

7. Yén ana perkara ajang dhéng buka (Jawa-Cirebon)
“jika ada perkara jangan dibuka”
Artinya: jika kita mengetahui sesuatu kejelekan orang lain, hal itu Janganlah disebarluaskan.

Kita melakukan suatu kebajikan ataupun kebaikan terhadap orang lain atau seseorang harus merupakan kesadaran dari diri kita sendiri, jangan sekedar terbawa¬bawa saja, seperti tampak dalam contoh berikut ini:

8. Ulah rubuh-rubuh gedang
“jangan rebah seperti papaya”
Artinya: janganlah mengerjakan pekerjaan tanpa mengetahui apa maksud dan tujuannya, hanya karena orang lain melakukannya.

Penampilan tingkah laku orang Sunda dalam pergaulan hendaknya saling mencintai, saling menghargai, sopan-santun, saling setia dan jujur disertai kerelaan, sesuai ‘folkways’ yang mencakup aturan hidup/kehidupan sosial, sopan-santun, dan kesusilaan. Sebagaimana tampak dalam ungkapan berikut ini:

9. Ngadeudeul ku congo rambut
“memberi bantuan dengan ujung rambut”
Artinya: memberi sumbangan atau bantuan kecil, tetapi disertai kerelaan atau dengan ikhlas hati.

10. Pondok jodo panjang baraya
“pendek jodoh panjang persaudaraan”
Artinya: meskipun sebagai suami istri sudah berpisah, hendaknya persaudaraan tetap dilanjutkan/dipertahankan.
(ditambah ungkapan nomor 2)

Masyarakat Sunda sering menghindari hal-hal perselisihan, menghindari menghasut dan melibatkan orang lain ke dalam perselisihan, sebagaimana tampak dalam ungkapan Nomor 2,3, dan Selain itu, ada juga ungkapan sebagaimana berikut ini.

11. Ulah marebutkeun balung tanpa eusi
“jangan memperebutkan tulang tanpa isi”
Artinya: jangan memperebutkan perkara yang tidak ada gunanya’

12. Ulah ngadu-ngadu raja wisuna
“jangan membangkitkan amarah”
Artinya: jangan membangkitkan bibit kemarahan antara dua orang agar pecah persahabatannya/berpisah bersahabat.

Hidup rukun dan damai akan tercapai apabila dalam kehidupan bermasyarakat kita saling sayang-menyayangi, saling hormat-menghormati, dan tidak memancing keresahan dan kemarahan orang lain, seperti tampak pada ungkapan nomor 3 dan 7 di samping ungkapan berikut ini:

13. Ulah ngaliarkeun taleus ateul
“jangan menyebarkan talas gatal”
Artinya: jangan menyebarkan perkara yang dapat menimbulkan keburukan/keresahan.

Selain itu, di dalam proses interaksi sosial antara individu yang satu dengan individu lainnya, dalam masyarakat Sunda tidak boleh menyinggung perasaan orang lain yang akan mengakibatkan perpecahan di antara anggota masyarakat itu sendiri. Seperti terungkap dalam data nomor 5 dan ungkapan berikut ini:

14. Ulah nyolok mata buncelik
“jangan mencolok mata yang melotot”
Artinya: jangan berbuat sesuatu di hadapan orang lain, dengan maksud mempermalukan orang lain.

15. Ulah biwir nyiru rombengeun
“bibir jangan seperti niru yang rusak dan sobek-sobek”
Artinya: janganlah membicarakan sesuatu yang tidak pantas
terdengar oleh orang lain, senantiasa mengendalikan diri dalam bertutur kata.

Sesuai dengan sosial solidaritas, bahwa dalam berkehidupan bermasyarakat kita tidak boleh mementingkan diri sendiri tetapi harus mendahulukan kepentingan masyarakat dan keputusan pribadi yang tidak menguntungkan, sesuai dengan sikap yang dikehendaki oleh masyarakat Sunda yang tidak boleh mementingkan diri sendiri, sebagaimana tampak dalam ungkapan berikut ini:

16. Buruk-buruk papan jati
“betapa pun lapuknya kayu jati itu kuat”
Artinya: betapapun besar kesalahan saudara atau sahabat, mereka tetap saudara kita, orang tua tentu dapat mengampuninya.

17. Kaciwit daging kabawa tulang
“tercubit kulit dagingpun terbawa”
Artinya: ikut tercemar karena perbuatan salah seorang sanak keluarga

18. Ulah mapay ka puhu leungeun
“jangan menyusur ke pangkal lengan”
Artinya: janganlah kesalahan anak membawa buruk kepada orang tuanya.

Manusia di muka bumi ini sesuai dengan ajaran agama diwajibkan saling hormat-menghormati, dan saling harga menghargai dengan sesama manusia, sesuai pula dengan sila Pancasila. Dalam masyarakat Sunda pun hal itu tercermin pada ungkapan berikut ini:

19. Wong asih ora kurang pangalé, wong sengit ora kurang panyacad
“orang pengasih tidak kurang pujian, orang yang jelek (pemarah) tidak kekurangan celaan”
Artinya: orang yang pengasih kepada yang lain akan disenangi, dan orang yang bengis akan dibenci.

20. Ana deleng dén deleng, anu rungu dén rungu
“ada penglihatan dilihat, ada pendengaran didengar”
Artinya: jika ada sesuatu lihatlah atau dengarlah dengan patuh, tetapi janganlah dilihat atau didengar dengan tujuan jelek.

Data ungkapan yang telah disajikan, yang merupakan pencerminan dari adanya hubungan antara manusia dengan sesama manusia dalam masyarakatnya sesuai dengan pandangan hidup orang Sunda, juga dengan folkwas, solidarity social, juga tentang fungsi keluarga dan tatasosial dalam masyarakat Sunda.

5.Bagimana pandangan hidup orang Sunda mengatur hubungan anatara manusia dengan Negara dan bangsa?

Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya, menurut pandangan hidup orang Sunda, hendaknya didasari oleh sikap yang menjungjung tinggi hukum, membela negara, dan menyuarakan hati nurani rakyat. Pada dasarnya tujuan hukum yang berupa hasrat untuk mengembalikan rasa keadilan, yang bersifat menjaga:

1. Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balaréa.
“‘harus mengarah kepada hukum, mengarah ke kaki negara, bermupakat kepada orang banyak”
Artinya: harus menjungjung tinggi hukum, berpijak kepada ketentuan negara, dan bermupakat kepada kehendak rakyat.
Masyarakat Sunda memetingkan kerja sama dalam kekeluargaan demi kelangsungan dan kesejahteraan hidup masyarakatnya, sebagaimana tampak dalam ungkapan nomor 8 dan ungkapan berikut ini:

2. Bengkung ngariung bongkok ngaronyok
“melingkar/lengkung dalam berkumpul bungkuk dalam berhimpun”
Artinya: bersama-sama dalam suka dan duka.
Dalam hidup bermasyarakat, di dalam masyarakat Sunda kita dituntut agar dapat mengerjakan sesuatu itu lebih mementingkan masyarakat, bangsa, dan negara, sebagaimana tercermin dalam ungkapan berikut ini:

3. Kudu inget ka bali geusan ngajadi
“harus ingat kepada tempat kejadian”
Artinya: harus selalu ingat ke tempat dilahirkan/kelahira

4. Lain palid ku cikiih, lain datang ku cileuncang
“bukan hanyut karena air kencing, bukan datang karena air hujan”
Artinya: bukan hadir tanpa tujuan

5. Dén hormat maring pusaka, leluhur, wong atua karo, guru, lan ratu.
“harus hormat terhadap pusaka, leluhur, kedua orang tua, guru, dan raja”
Artinya: pusaka leluhur, kedua orang tua, guru, dan raja harus dihormati.
Masalah yang tidak kurang pentingnya dalam kehidupan masyarakat Sunda ialah bahwa kita harus menjungjung tinggi keadilan dan kebenaran. Seperti tercermin dalam ungkapan berikut ini:

6. Nyuhunkeun bobot pangayon timbang taraju
“memohon pertimbangan”
Artinya: memohon pertimbangan dan kebijaksanaan yang seadil-adilnya, memohon ampun.

7. Yén ana angin bolang-baling, aja gandulan wit ing kiara, tapi gandulana suket sadagori.
“ jika ada angin ribut, jangan berpegang pada kiara, tetapi peganglah tumbuhan sadagori”
Artinya: jika terjadi huru-hara, janganlah berpegang pada yang besar atau berkuasa, tetapi berpeganglah kepada sesuatu yang sering dianggap kecil, yakni kebenaran.

8. Sakunang ananing geni, sadom ananing baraya
“walaupun sebesar kunang-kunang adalah api, walaupun seujung jarum adalah senjata”
Artinya: sekecil apapun milik negara itu harus tetap dipertanggungjawabkan.
Dari hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya, kita dituntut agar taat dan patuh terhadap norma-norma dan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh agama atau pemerintah. Mengenai norma dan aturan dalam masyarakat Sunda dapat dilihat dalam ungkapan nomor 27 dan ungkapan berikut ini.

9. Aja nolak kandika pandita ratu
“jangan menolak perintah pendeta/raja”
Artinya: turutilah segala perintah/keputusan atau aturan ulama dan pemerintah.
Ungkapan pandangan hidup yang ada di atas jelas melambangan sebuah harapan agar masyarakat Sunda menjadi manusia yang baik secara individu maupun secara kelompok.

*Paribahasa atau ungkapan yang diuraikan diatas merupakan sebuah bentuk terjemahan dari arti “Sunda”.
Karinding merupakan sebuah alat musik tiup yang berasal dari Jawa Barat. Merupakan salah satu kekayaan budaya sunda dalam hal kesenian, khususnya seni musik. Karinding biasanya dimainkan oleh seorang maupun grup yang terdiri dari 2 hingga 5 orang. Menurut Ensiklopedia Sunda, karinding berarti alat bunyi-bunyian yang dibuat dari bambu dalam karawitan sunda. Karena merupakan alat musik tiup, maka peran penting resonator dipegang oleh rongga mulut, sedangkan tangan atau jari-jari bertindak sebagai pemukul.
Fungsi dari karinding ini dulunya adalah sebagai penghasil suara bergelombang ultrasonik yang digunakan untuk mengusir hama di sawah. Hal ini disebabkan suara yang dihasilkan oleh karinding biasanya low decibel atau bersuara rendah. Secara umum, karinding menghasilkan suara yang mirip wereng, belalang, burung, dan yang lainnya. Pada perkembangannya, alat musik yang satu ini bisa digabungkan dengan alat musik lain untuk dijadikan sebuah pertunjukan. Bahkan, alat musik ini juga menjadi salah satu pertunjukan di hotel-hotel mewah di Bandung dalam usaha pelestarian budaya sunda.
Keistimewaan dari alat musik ini adalah dapat digunakan untuk membuat sebuah lagu karena alunan suaranya yang indah. Hal ini disebabkan oleh resonatornya, yaitu rongga mulut. Yang memungkinkan untuk menciptakan variasi-variasi baru secara bebas dan variatif. Bahkan, orang pada zaman dahulu mengklaim bahwa orang yang sudah bisa menguasai alat musik ini bisa berbicara menggunakan karinding. Hanya saja suara yang keluar seperti suara robot (robotik).
Karinding terbuat dari bahan yang sederhana, yaitu pelepah kawung dan bambu. Bahan pembuatnya merupakan identitas bagi pemakainya. Untuk karinding dengan bahan pelepah kawung biasanya dipakai oleh kaum Adam, sedangkan karinding dengan bahan bambu dipakai oleh kaum perempuan yang menyimpannya di sanggul. Karinding terdiri dari 3 ruas, ruas kanan, tengah dan kiri. Sebagai pegangan ada di ruas kiri, ruas kanan adalah bagian yang dipukul dan tengah adalah tempat terdekat dengan mulut, di mana udara dan lidah menjadikan suara-suara music yang indah ketika bertemu dengan getaran dari ruas kanan. Selanjutnya ada 4 jenis nada yang dihasilkan oleh Karinding menurut abah Olot, yaitu tonggoret, rereogan, gogondangan, dan iring-iringan. Bunyi ini tergantung dari hasil resonansi yang dibuat atau diciptakan saat dimainkan.
Dalam karakteristik budaya sunda sendiri memiliki kemampuan-kemampuan yang menjadikannya sebagai daya hidup bagi masyarakatnya, yang diantaranya seperti : Kemampuan berkoordinasi dan berorganinasi, dimaknai sebagai kemampuan berinteraksi secara sosial. Kemampuan beradaptasi, dimaknai sebagai kemampuan kesadaran untuk secara kreatif mengatasi tantangan keadaan, tantangan zaman dan tantangan berbagai ragam pergaulan. Kemampuan mobilitas, dimaknai sebagai kemampuan untuk dengan kreatif menciptakan mobilitas sosial, politik, dan ekonomi, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal. Kemampuan tumbuh dan berkembang, diartikan sebagai kemampuan kesadaran untuk selalu maju, selalu bertambah luas dan dalam wawasan-nya selalu menawarkan pemikiran-pemikiran yang segar dan baru Kemampuan regenerasi, dimaknai sebagai kemampuan untuk mendorong munculnya generasi baru yang kreatif dan produktif.

Di samping daya hidup, unsur lain lagi yang juga penting dalam suatu kebudayaan adalah mutu hidup. Mutu hidup bukanlah merupakan kesempurnaan tetapi lebih dimaknai sebagai kebiasaan. Adapun kebisaan dalam hidup manusia merupakan kolaborasi harmonis dari tiga aspek, yakni :

Ø Tanggung Jawab, dimaknai sebagai suatu kesadaran untuk selalu melaksanakan kewajiban-kewajiban secara penuh sesuai dengan tanggung jawab sosialnya.

Ø Idealisme, dimaknai sebagai rumusan sikap hidup seseorang di dalam menempuh padang dan hutan belantara kehidupan. Idealisme sekaligus merupakan sumber kepuasan batin seseorang.

Ø Spontanitas, dimaknai sebagai ungkapan naluri dan intuisi manusia. Tanpa spontanitas akan menyebabkan hidup menjadi kering dan hambar.

NILAI TRADISI MASYARAKAT SUNDA

Meniliki nilai budaya yang tinggi, budaya Sunda dicirikan dengan telah dikenalnya budaya tulis semenjak zaman dahulu. Pesan-pesan para leluhur Sunda tersebut menunjukkan bahwa makna yang dimiliki dari budaya Sunda tergolong kedalam makna nilai yang tinggi dan strategis serta sangat dihormati oleh masyarakatnya. Pesan moral yang awalnya terbatas hanya untuk masyarakat kerajaan Sunda ternyata memiliki nilai yang bersifat universal yang dapat juga dijadikan panutan oleh masyarakat di luar etnis Sunda agar kita selalu bersikap baik memperlakukan alam. Karena secara nurani setiap komunitas makhluk hidup termasuk manusia, siapa dan seberapapun kecilnya selalu membutuhkan tatanan kehidupan yang seimbang, selaras dan harmonis.

NILAI RELIGIUS

Dalam perjalanannya nilai-nilai tradisi dan religius masyarakat Sunda terus mengalami proses perkembangan sesuai dengan perubahan zaman. Agama Islam yang merupakan agama mayoritas masyarakat Sunda saat ini. Dalam aplikasinya, perkembangan keagamaan seperti yang terjadi pada masyarakat Sunda sebenarnya merupakan proses perkembangan dari mitos-mitos masyarakat yang pada intinya selalu mencari bentuk hubungan yang seimbang antara keberadaan manusia dengan lingkungan alamnya.

PERUBAHAN BUDAYA MASYARAKAT SUNDA

Tingginya budaya Sunda seperti dikenalnya budaya tulis, dimana budaya tulis sudah dikenal sejak dahulu kala yang diwujudkan dalam berbagai bentuk prasasti tampaknya sudah semakin tidak terlihat dalam kehidupan masyarakat Sunda saat ini. Realitas kondisi keempat daya hidup yang dimiliki oleh budaya Sunda dalam menghadapi berbagai bentuk tantangan. Kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda, terutama dalam merespon berbagai tantangan yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang kmasyarakat begitu menggembirakan. Bahkan, kebudayaan Sunda seperti tidak memiliki daya hidup manakala berhadapan dengan tantangan dari luar. Akibatnya, tidaklah mengherankan bila semakin lama semakin banyak unsur kebudayaan Sunda yang mulai terhapus oleh kebudayaan asing.

Sebagai contoh yang paling jelas adalah bahasa Sunda yang merupakan bahasa komunitas masyarakat Sunda tampak secara eksplisit semakin jarang digunakan oleh pemiliknya sendiri, khususnya para generasi muda Sunda. Dan yang lebih memprihatinkan lagi, menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-hari terkadang diidentikkan dengan “keterbelakangan”, untuk tidak dikatakan primitif. Akibatnya, timbul rasa gengsi pada masyarakat Sunda untuk menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulannya sehari-hari. Bahkan, rasa “gengsi” ini terkadang ditemukan pula pada mereka yang sebenarnya merupakan pakar di bidang bahasa Sunda, termasuk untuk sekadar mengakui bahwa dirinya adalah pakar atau berlatar belakang keahlian di bidang bahasa Sunda.

Oleh karenanya, jangankan di luar komunitas Sunda, di dalam komunitas Sunda sendiri, kebudayaan Sunda seringkali menjadi asing. Kemampuan tumbuh dan berkembang kebudayaan Sunda juga dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang tidak kalah memprihatinkan. Jangankan berbicara pemikiran-pemikiran baru, itikad untuk melestarikan apa yang telah dimiliki saja dapat dikatakan sangat lemah. Kebudayaan Sunda pun tampaknya terlihat masyarakat membuka ruang bagi terjadinya proses tersebut, dapat dikatakan menjadi salah satu penyebab rentannya budaya Sunda dalam proses regenerasi. Akibatnya, jadilah budaya Sunda yang gagap dengan regenerasi.

Generasi-generasi baru masyarakat Sunda seperti tidak diberi ruang terbuka untuk berkompetisi dengan sehat, hanya karena kentalnya senioritas serta “terlalu majunya” pemikiran para generasi baru, yang seringkali bertentangan dengan norma-norma yang dimiliki generasi sebelumnya. Akibatnya, tidaklah mengherankan bila proses alih generasi dalam berbagai bidang pun berjalan dengan tersendat-sendat.

Mengamati daya hidup kebudayaan Sunda yang hanya memperlihatkan temuan-temuan yang cukup memprihatinkan, hal yang sama juga terjadi pada aspek mutu hidup yang digunakan untuk menjelajahi Kebudayaan Sunda, baik dari aspek tanggung jawab, idealisme maupun spontanitas. Lemahnya rasa tanggung jawab tidak saja diakibatkan oleh minimnya ruang-ruang serta kebebasan untuk melaksanakan kewajiban secara total dan bertanggung jawab tetapi juga oleh lemahnya kapasitas dalam melaksanakan suatu kewajiban.
Saya terkadang heran, entah keheranan ini cuma ada di diri saya sendiri. Kebanyakan dari orang (Indonesia), kalau sudah bicara tema 'spiritual' selalu saja mengasosiasikannya dengan 'agama', 'Tuhan', atau sejenisnya. Hal ini begitu mudah dilihat dari berbagai grup virtual yang memakai kata 'spiritual' dalam nama grupnya.

Saya menduga ini dari kelemahan alam pikir kita berpikir historis. Terutama disebabkan dari sistem dan praktik pendidikan formal yang mendegradasikan pentingnya pemaknaan peristiwa sejarah secara merdeka dan humanis. Dari kultur pendidikan yang otoriter dan ahistoris seperti terjadi sekarang ini, maka tak heran bila produk-produk yang dihasilkan juga kebanyakan error cara berpikirnya. Error pulalah produk pikirannya. Sebab-akibatnya saling mendukung.

Bila menilik dari etimologinya, spiritual diserap dari bahasa Inggris 'spirit' (roh) yang berakar dari Latin 'spiritus' yang berarti 'nafas', 'kekuatan', 'jiwa', dan 'hidup'. Nah, apabila kemudian pada praktik hari ini kata 'spiritual' kemudian diasosiasikan dengan 'agama', saya merasa perlu untuk merekomendasikan kepada kita semua untuk mengecek ulang cara berpikir dan metode penelaahan masalah kita. Dalam filsafat ilmu ini disebut epistemelogi. Ya, kita perlu cek ulang.

Saya memaknai bahwa 'nafas', 'kekuatan', 'jiwa', dan 'hidup' itu adalah sebuah metafora. Dan bila dikatakan metafora maka ia perlu ditafsirkan secara imajinatif. Bukan berarti Anda tidak punya kebebasan untuk menafsirkannya, tetapi apabila penafsirannya hanya terbatas pada terma-terma 'agama', 'orang suci', 'kitab suci', itu menunjukkan bahwa Anda manusia yang berimajinasi terbatas. Dan apabila terbatas, maka, ia bertolakbelakang dengan kebebasan objek sasaran (spiritual) yang sedang Anda tafsirkan itu. Anda itu kontradiktif. Sungsang. Kaki di kepala, kepala di kaki.

Bagi saya, spirit itu bersifat esoteris alias kebatinan. Esoteris atau kebatinan itu berada di wilayah 'halus'. Lebih bersifat 'ke dalam'. Ke dalam mana? Hanya Anda sendirilah yang tahu karena 'yang dalam' itu berada di dalam Anda sendiri. Ia tak berbentuk sekaligus berbentuk. Tak berbentuk saat ia berada di luar diri dan berbentuk saat masuk ke dalam diri Anda. Bentuk itu sendiri bersifat temporer. Seperti udara yang Anda tarik-hembus-tarik-hembus itu. Udara di alam bebas itu bebas. Lubang hidung Anda sendirilah yang mencoba menangkap kebebasan udara itu.

Bagi saya sederhana saja, bumi kita hari ini, masih berpegang pada dua, yaitu material dan immaterial, bendawi dan non bendawi, jasmani dan rohani. Marilah kita mulai dari hal-hal yang pragmatik. Mulai dari hal-hal yang konkret, seperti memungut permen karet yang ditempel orang iseng di kursi angkutan kota. Mulailah dari hal-hal yang material. Bagaimanapun juga yang itu lebih bisa dirasakan manfaatnya secara meluas ketimbang mencoba menggenggam erat udara di telapak tangan Anda.

Spiritualitas itu begitu simpel. Sederhana saja. Sesederhana menjaga tangan Anda untuk tidak colek bini/suami tetangga. Berspiritualitas itu bisa dimulai dari mana saja, dari yang 'halus/esoteris/batin' atau yang 'zahir/material/praktik'. Dan tetap saja, darimana pun Anda memulainya, cukup sadari saja bahwa tujuan Anda adalah berspiritualitas alias 'menghaluskan yang halus' itu tadi. Karena bagaimanapun juga, yang 'praktik/material' itu hampir selalu mencerminkan yang 'batin/halus/spiritual' di dalam diri Anda.

So, selamat berspiritualitas. Mulailah dari hal-hal yang sederhana. Praktikkan kehalusan diri Anda. Dan, ingat! tak perlu sekali-sekali paksakan 'lubang hidung' Anda pada orang lain karena spesifikasi masing-masing orang berbeda.
Nilai Kujang sebagai sebuah jimat atau azimat, pertama kali muncul dalam sejarah Kerajaan Padjadjaran Makukuhan dan Panjalu. Tepatnya pada masa pemerintahan Prabu Kudo Lalean(disebut juga Prabu Kuda Lelean di tanah Sunda dan Kerajaan Panjalu Ciamis). Prabu Kuda Lelean / Kudo lalean juga dikenal sebagai Hyang Bunisora dan Batara Guru di Jampang karena menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni di Jampang (Sukabumi).

Sejak itu, Kujang secara berangsur-angsur dipergunakan para raja dan bangsawan Kerajaan itu sebagai lambang kewibawaan dan kesaktian. Suatu ketika, Prabu Kudo Lalean tengah melakukan tapa brata di suatu tempat. Tiba-tiba sang prabu mendapat ilham untuk mendesain ulang bentuk Kujang, yang selama ini dipergunakan sebagai alat pertanian.

Anehnya, desain terbaru yang ada di benak sang Prabu, bentuknya mirip dengan Pulau “Djawa Dwipa”, yang dikenal sebagai Pulau Jawa pada masa kini. Nah, setelah mendapat ilham itu, segera prabu Kudo Lalean menugaskan Mpu Windu Supo, seorang pandai besi dari keluarga kerajaan. Ia diminta membuat mata pisau seperti yang ada di dalam pikiran sang Prabu. Mulanya, Mpu Windu Supo gusar soal bentuk senjata yang mesti dibuatnya. Maka sebelum melakukan pekerjaan, Mpu Windu Supo melakukan meditasi, meneropong alam pikiran sang prabu. Akhirnya didapatlah sebuah bayangan tetang purwa rupa (prototype) senjata seperti yang ada dalam pikiran Kudo Lalean.

Setelah meditasinya usai, Mpu Windu Supo memulai pekerjaannya. Dengan sentuhan-sentuhan magis yang diperkaya nilai-nilai filosofi spiritual, maka jadilah sebuah senjata yang memiliki kekuatan tinggi. Inilah sebuah Kujang yang bentuknya unik, dan menjadi sebuah objek bertenaga gaib. Senjata ini memiliki 2 buah karakteristik yang mencolok. Bentuknya menyerupai Pulau Jawa dan terdapat 3 lubang di suatu tempat pada mata pisaunya. Inilah sebuah senjata yang pada generasi mendatang selalu berasosiasi dengan Kerajaan Padjadjaran Makukuhan.

Bentuk Pulau Jawa sendiri merupakan filosofi dari cita-cita sang Prabu, untuk menyatukan kerajaan-kerajaan kecil tanah Jawa menjadi satu kerajaan yang dikepalai Raja Padjadjaran Makukuhan. Sementara tiga lubang pada pisaunya melambangkan Trimurti, atau tiga aspek Ketuhanan dari agama Hindu, yang juga ditaati oleh Kudo Lalea. Tiga aspek Ketuhanan menunjuk kepada Brahma, Vishnu, dan Shiva. Trinitas Hindu (Trimurti) juga diwakili 3 kerajaan utama pada masa itu. Kerajaan-kerajaan itu antara lain Pengging Wiraradya, yang berlokasi di bagian Timur Jawa; Kerajaan Kambang Putih, yang berlokasi di bagian Utara Jawa, dan Kerajaan Padjadjaran Makukuhan, berlokasi di Barat.

Bentuk Kujang berkembang lebih jauh pada generasi mendatang. Model-model yang berbeda bermunculan. Ketika pengaruh Islam tumbuh di masyarakat, Kujang telah mengalami reka bentuk menyerupai huruf Arab “Syin”. Ini merupakan upaya dari wilayah Pasundan, yakni Prabu Kian Santang(Dikenal juga dengan Nama Prabu Borosngora ,dan Bunisora Suradipati dari kerajaan panjalu), yang berkeinginan meng-Islamkan rakyat Pasundan. Akhirnya filosofi Kujang yang bernuansa Hindu dan agama dari kultur yang lampau, direka ulang sesuai dengan filosofi ajaran Islam. Syin sendiri adalah huruf pertama dalam sajak (kalimat) syahadat dimana stiap manusia bersaksi akan Tuhan yang Esa dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Dengan mengucap kalimat syahadat dan niat di dalam hati inilah, maka setiap manusia secara otomatis masuk Islam.

Manifestasi nilai Islam dalam senjata Kujang adalah memperluas area mata pisau yang menyesuaikan diri dengan bentuk dari huruf Syin. Kujang model terbaru seharusnya dapat mengingatkan si pemiliknya dengan kesetiannya kepada Islam dan ajarannya. Lima lubang pada Kujang telah menggantikan makna Trimurti. Kelima lubang ini melambangkan 5 tiang dalam Islam (rukun Islam). Sejak itulah model Kujang menggambarkan paduan dua gaya yang didesain Prabu Kudo Lalean dan Prabu Kian Santang. Namun wibawa Kujang sebagai senjata pusaka yang penuh “kekuatan lain” dan bisa memberi kekuatan tertentu bagi pemiliknya, tetap melekat.

Dalam perkembangannya, senjata Kujang tak lagi dipakai para raja dan kaum bangsawan. Masyarakat awam pun kerap menggunakan Kujang sama seperti para Raja dan bangsawan. Di dalam masyarakat Sunda, Kujang kerap terlihat dipajang sebagai mendekorasi rumah.

Konon ada semacam keyakinan yang berkait dengan keberuntungan, perlindungan, kehormatan, kewibawaan dan lainnya. Namun, ada satu hal yang tak boleh dilakukan. Yakni memajang Kujang secara berpasangan di dinding dengan mata pisau yang tajam sebelah dalam saling berhadapan. Ini merupakan tabuatau larangan. Selain itu, tidak boleh seorangpun mengambil fotonya sedang berdiri diantara 2 Kujang dalam posisi tersebut. Kabarnya, ini akan menyebabkan kematian terhadap orang tersebut dalam waktu 1 tahun, tidak lebih tapi bisa kurang.
Menyinggahi sanggar kerja Kujang Pajajaran di sudut timur Bogor, saya merasakan hawa panas luar biasa. Asalnya dari bara arang bambu bersuhu 800 -1.200 derajat Celcius di kejauhan, yang digunakan sang empu kujang Wahyu Affandi Suradinata melebur besi dan baja untuk dijadikan kujang, senjata tajam tradisional khas Tanah Pasundan.

Kujang berasal dari kudihyang (kudi: senjata berkekuatan gaib, hyang: dewa). Karya seni tinggi ini dianggap teureuh atau trah, jati diri urang (orang) Sunda. Menurut naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesia (1518), semula kujang digunakan sebagai alat berladang. Hingga kini, masyarakat Baduy di Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi masih menggunakan kujang untuk berladang.

Keahlian Wahyu membuat kujang didapat secara otodidak setelah secara tak sengaja menemukan kujang tertancap di batu dekat muara sungai di Sukawayana, Cisolok, pada 1993. Lalu, mantan guru STM (kini SMK Teknologi) ini berkonsultasi dengan budayawan Anis Jatisunda, dan beroleh keterangan bahwa kujang itu pernah menjadi milik bupati Pajajaran, kerajaan besar Sunda.

Setelah melebur besi dan baja, Wahyu menempanya menjadi kujang berdasarkan contoh yang ada. Hasil karya yang semula dibagikan secara cuma-cuma kepada kawan-kawan terdekat ternyata menarik pesanan serius dari kolektor kujang. Akhirnya Wahyu pun memutuskan penuh menjadi guru teupa alias pandai besi kujang.

Sembari memperlihatkan kujang-kujang hasil tempaannya, Wahyu menuturkan, “Kujang itu jenis senjata dua pangadegan, tajam di dua sisi dengan sisi belakang tajam separuh.” Lalu, telunjuk Wahyu menunjuk bagian-bagian kujang, dari papatuk atau congo (ujung seperti panah), eluk atau silih (lekukan punggung), tadah (lengkung menonjol di perut), sampai mata (lubang kecil yang ditutup logam mulia).

Sembari mengutip keterangan yang diberikan Anis, Wahyu melanjutkan, ”Kujang sudah ada sejak abad sembilan hingga 12 sebagaimana tertulis dalam naskah kuno Pantun Bogor.

Kujang berkembang menjadi senjata pralambang pusaka keagungan dan pelindung, pakarang untuk berperang, pangarak untuk upacara, dan pamangkas untuk berladang.”

Berdasarkan bentuk bilah, ada yang disebut kujang jago (mirip ayam jantan), ciung (burung ciung), kuntul (bangau), badak, naga, bangkong (kodok), dan tokoh wayang perempuan perlambang kesuburan. Sekilas, siluet kujang mengingatkan pada kuda laut.

Wahyu membuat sendiri kowak atau sarangka, sarung kujang yang terbuat dari kayu sonokeling dari seputar Gunung Sunda, Sukabumi. Kujang dan sarung digarap dalam sepuluh hari. Selain kujang dalam bentuk aslinya, Wahyu pun melayani pesanan membuat hiasan dinding kujang satu sisi, plakat, dan cendera mata, seperti pin dan gantungan kunci. 

Sebagai bagian pelestarian budaya Sunda, ia juga membuat cendera mata khusus macam miniatur Batu Tulis lengkap dengan terjemahan prasasti dan kujang kecil.
Prasasti Batutulis geus dialih aksara keun ku sababaraha urang ahli, di antarana Friederich (1853), Holle (1869), Pleyte (1911), Poerbatjaraka (1921), jeung Noorduyn (1957). Ku Saléh Danasasmita, alihaksarana téh kieu,

1. 0 0 wang na pun ini sakakala, prebu ratu purané pun, diwastu
2. diya wingaran prebu guru déwataprana diwastu diya dingaran sri
3. baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran sri sang ratu dé-
4. wata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang nis-
5. kala sa(ng) sida-mokta di gunatiga i(n)cu rahyang niskala wastu
6. ka(n)cana sa(ng), sida-mokta ka nusalara(ng), ya siya nu nyiyan sakaka-
7. la gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga
8. rena mahawijaya, ya siya pun 0 0 i saka, panca panda-
9. wa '(m)ban bumi 0 0

Tarjamahna kira-kira kieu:

1. muga-muga salamet ieu tanda paringetan, Prabu Ratu almarhum, dinobatkeun
2. anjeunna kalayan jeneng Prabu Guru Dewataprana, dinobatkeun (deui) anjeunna kalayan ngaran Sri
3. Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu De-
4. wata anjeunna nu nyieun susukan di Pakuan anjeunna anak Rahyang Nis-
5. kala nu dikurebkeun di Gunatiga incu Rahyang Niskala Wastu
6. Kancana, nu dikurebkeun di Nusalarang, anjeunna nu nyieun paringet-
7. an gugunungan, ngabalay nyieun hambalan keur leuweung Samida, nyieun Sanghyang Talaga
8. rena Mahawijaya, (dijieun) dina (taun) Saka, "Panca Panda-
9. wa Ngemban Bumi"

Contact Me

Contact With Me

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and type setting industry when an unknown printer took a galley of type

  • 9908B Wakehurst St.Rockaway
  • 990800113322
  • info@domain.com
  • www.yourinfo.com